Jika yang diinginkan pemerintah adalah penghematan untuk mendukung program penyejahteraan masyarakat, maka kebijakan yang semacam ini tidaklah tepat. Kebijakan semacam ini bahkan bertentangan dengan tujuan asalnya, yang akan semakin menjauhkan kesejahteraan dari rakyat yang memang sudah begitu jauh. Jadi kalau alasannya menghemat subsidi BBM untuk kesejahteraan rakyat maka sama sekali tidak nyambung. Kecuali kalau alasannya adalah mengikuti saran IMF untuk program liberalisasi sektor ekonomi, termasuk juga penghilangan subsidi TDL dan BBM maka itu sangat nyambung. Tidak bisa pula dikatakan bahwa ini untuk keadilan karena yang menanggung adalah masyarakat kaya, tapi kami memahami bahwa ini hanyalah langkah kesekian dari sekian langkah menuju liberalisasi ekonomi Indonesia.
Jika pemerintah benar-benar mengininkan kesejahteraan rakyat maka yang harus dilakukan adalah menjadikan harga BBM semurah mungkin bagi masyarakat, bukan menaikkannya. Bukankah Pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Pengamat perminyakan, Kurtubi menyatakan bahwa manifestasi dari pasal di atas adalah harga BBM itu dibayar oleh masyarakat dengan harga yang murah (detikfinance, 22/3/2010). Lebih lanjut beliau menyatakan, andai yang terjadi demikian maka Indonesia sama halnya dengan Negara lain yang tidak mempunyai pasal 33 dalam UU-nya.
Jika pemerintah kita berniat untuk meringankan beban rakyat, maka yang harus dilakukan adalah menjadikan harga BBM semurah mungkin, bukan menaikkannya. Rakyat telah menanggung beban kemiskinan yang berat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah kemiskinan di Indonesia mencapai 18,5 juta rumah tangga miskin (RTM). Kalkulasinya, jika setiap RTM ada empat orang jiwa (bapak, ibu dan dua orang anak), maka total penduduk miskin Indonesia mencapai 74 juta jiwa. Artinya hampir 30 persen penduduk Indonesia berada dalam garis kemiskinan (mediaumat.com, 10/7/2010). Padahal perhitungan angka garis kemiskinan itu berdasarkan pendapatan sekitar Rp 160 ribu/bulan. Bagaimana jika angka garis kemiskinan itu dinaikkan menjadi Rp 300 ribu/bulan? Dan bagaimana jika kemudian BBM dinaikkan, berapakah jumlahnya?
Jika pemerintah mempunyai misi untuk meringankan beban rakyat maka pemerintah harus menjadikan BBM sebagai barang yang murah meriah. Karena rakyat telah menerima beban pajak yang demikian besar dan dengan ragamnya yang begitu variatif. Pemerintah menetapkan pendapatan 2010 negara sebesar Rp 949,7. Jumlah pendapatan itu berasal dari penerimaan perpajakan sebanyak Rp742,7 trilyun Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebanyak Rp 205,4 trilyun dan penerimaan dari hibah sebanyak Rp1.506,8 miliar. Artinya hampir 70 persen sumber APBN berasal dari pajak, dan rakyatlah yang membayarnya.
Rakyat kembali menanggung beban sakit hati karena uang hasil banting tulang yang dibayarkan lewat pajak digelapkan oleh Gayus 28 Milyar, belum termasuk Gayus-Gayus lainnya, dan hilangnya sumbangan mereka ketika Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memberikan likuiditas Rp 6,7 trilyun untuk Bank Century, yang tak jelas juntrungannya. Akankah beban rakyat ditambah dengan adanya pengurangan subsidi BBM?
Bukankah pemerintah ada untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat, dimana kondisi sejahtera adalah kondisi yang normal dan lumrah untuk rakyat yang berpemerintah. Ketika pemerintah ada dan bekerja, namun kesejahteraan tidak kunjung tiba maka sungguh kondisi demikian tidak layak ada pada rakyat yang berpemerintah. Kalo demikian mereka bekerja untuk siapa?
Bangsa ini bisa sejahtera
Pemerintah salah sasaran jika ingin memberikan beban pengurangan subsidi BBM kepada masyarakat lagi. Tidak perlu pemerintah menaikan TDL dan BBM untuk membuat kita sejahtera, yang membuat rakyat sejahtera adalah murahnya TDL dan BBM. Bebankanlah beban-beban ini kepada Sumber Daya Alam kita, niscaya mereka mampu, bukan kepada manusia-manusia Indonesia.
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc dengan tambang Ertsberg-nya di Papua cukup untuk mensejahterakan bangsa ini –jika saja dikelola mandiri-. Marwan Batubara dalam bukunya ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’ menyatakan bahwa tambang Ertsberg merupakan deposit tembaga terkaya yang pernah ditemukan di atas permukaan tana. Analisis laboratorium memastikan perkiraan ekspedisi bahwa terdapat kandungan tembaga sebesar 13 juta ton bijih Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Jumlah keseluruhan diperkirakan mencapai 50 juta ton bijih. Dinas Pertambangan Papua menyebutkan cadangan Ertsberg sebanyak 35 juta ton. Jika diasumsikan harga rata-rata tembaga selama sekitar 20 tahun periode penambangan di Ertsberg adalah US$ 2000/ton, pendapatan yang dapat diraih dari seluruh potensi mineral tambang Ertsbegr adalah (35 juta ton x 2000 US$ /ton) = US$ 70 miliar.
Begitu juga dengan tambang Grasberg-nya di Papua. Marwan menjelaskan bahwa Grasberg menyimpan potensi tembaga, emas dan perak dalam jumlah yang sangat besar. Cadangan Grasberg yang ditemukan cadangan total sebesar 200 juta ton metrik. Laporan Keuangan Freeport bulan Juni 2009, menunjukan bahwa cadangan emas dan tembaga tambang Grasberg masing-masing sebesar 38,5 juta ons dan 35,6 juta ton. Dengan harga rata-rata emas dan tembaga sepanjang periode tambang diasumsikan masing-masing sebesar 900US$ /ons, dan 5.000 US$ /ton, total potensi pendapatan emas tambang Grasberg adalah ( 38,5 juta ons X 900US$ /ons) = 34, 65 US$ miliar. Sedangkan total potensi pendapatan tembaga tambang Grasberg adalah (35, 6 juta ton X 5.000 US$/ ton) = 178 US$ miliar.
Jika diasumsikan mineral yang ditambang hanya emas dan tembaga, total potensi pendapatan tambang Grasberg adalah sekitar US$ 212,65 miliar. Namun, karena adanya kandungan perak dan berbagai unsur mineral lainnya, total potensi pendapatan tambang Freeport dapat mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 3000 triliun.
Jika kita jumlahkan hasil penambangan di Ertsberg dan Grasberg maka jumlahnya adalah sebesar US$ 370 Miliar atau sekitar Rp 3700 triliun. Bayangkan jika semua itu masuk ke dalam pendapatan Negara kita, perlukah mengurangi subsidi BBM? Penghematan Rp 2 triliun tentu tidak ada artinya.
Belum lagi ditambah dengan potensi sumber daya alam negeri ini yang lainnya seperti potensi gas alam Negeri ini yang merupakan Negeri dengan cadangan gas alam terbesar ke-11 se-Dunia dengan cadangannya sebesar 98 triliun kaki persegi (wikipedia); batubara yaitu sebesar 104.760 juta ton, timah sebesar 650.135 ton dan nikel sebesar 1.878 juta ton (esdm.go.id, data per akhir 2008); prakiraan nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia yang telah dihitung para pakar dan lembaga terkait dalam setahun mencapai 149,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.994 triliun (travel.kompas.com, 6/11/2009); Penelitian yang dilakukan PT Exxonmobil menunjukkan cadangan minyak Blok Cepu sekitar 352 juta barel (matanews.com, 9/1/2010).
Hanya saja semua percuma, karenya nyatanya pihak asinglah yang ‘merampoknya’ dan rakyat miskin tetap mendapat tanggungan beban yang tidak semestinya. Pemerintah dan DPR memang berkerja, tapi untuk siapa? Kenapa muncul undang-undang ‘aneh’ semacam UU PMA, UU SDA, UU Migas, dan UU Minerba yang tendensius pada liberalisasi ekonomi?